Kamis 29 Desember 2011. KH. Rahmat Abdullah, Dari Kuningan Sampai Bekasi. Rahmat Abdullah, yang seringkali dipanggil Bang Mamak oleh warga Kampung Kuningan ini, meskipun lahir dari pasangan asli Betawi, namun ia selalu menghindari sebutan Betawi yang dianggapnya berbau kolonial Belanda.

- Angkatan 66 adalah sebuah periode sastra yang pertama kali dicetuskan oleh HB Jassin pada 1966. Istilah Angkatan 66 sebenarnya diilhami dari sebuah peristiwa politik yang terjadi tahun 1966. Saat itu terjadi gelombang aksi mahasiswa yang berhasil menumbangkan rezim pemerintah yang melakukan tindakan dari kejadian itu, HB Jassin berniat mengemukakan pemikirannya melalui karya sastra. Akan tetapi, penamaan Angkatan 66 telah mengundang kontroversi dari beberapa sastrawan, sehingga penamaan ini tidak dapat diterima. Baca juga Servius Dumais Wuisan Peran dan PerjuangannyaLatar Belakang Munculnya nama Angkatan 66 dicetus oleh HB Jassin dalam majalah Horison Nomor 2 Tahun 1966. Pada tulisan tersebut dikatakan bahwa Angkatan 66 lahir dilandasi dengan peristiwa yang terjadi tahun 1966. Saat itu, terdapat segerombol mahasiswa sedang melakukan aksi penggulingan rezim Soekarno yang dianggap menyeleweng. Berawal dari situ, HB Jassin kemudian ingin menunjukkan bahwa sastrawan telah memberikan perhatian mereka terhadap masalah sosial-politik. HB Jassin juga turut melibatkan beberapa nama sastrawan yang sebagian besar terlibat aktif dalam pergolakan politik yang terjadi tahun 1960-an.

a syair d. puisi bebas b. karmina e. gurindam c. talibun 38. Berakit-rakit ke hulu Berenang-renang ketepian Bersakit-sakit dahulu . Melihat dari gaya bahasa yang digunakan pada cuplikan di atas termasuk karya sastra angkatan . a. Balai Pustaka d. Angkatan ‘66 b. Pujangga Baru e. Lama c. Zaman Jepang Latihan Ujian Akhir 243 39. Periodisasi Sastra Indonesia dari angkatan per angkatan telah berkembang sangat pesat, dimulai dari angkatan Balai Pustaka sampai angkatan sastran milenial atau Cybersastra setiap periodisasi memiliki karakteristiknya masing-masing. Angkatan-angkatan itu muncul hampir 5 tahun sampai 15 tahun sekali. Jadi dapatlah pula kita menamakan angkatan-angkatan itu berdasarkan usianya. Selama waktu itu pengalaman dan situasi masing-masing generasi rupanya agak berbeda sehingga melahirkan ciri-ciri tersendiri pada BERLAKANG TERBENTUK NYA PERIODE SASTRA ANGKATAN 1966Masing-masing angkatan sastra dimulai dengan munculnya sekumpulan sastrawan yang tahun kelahirannya hampir sama dan menulis dalam gaya yang hampir sama dalam majalah atau penerbitan yang karya sastra dianggap ideal apabila mencakup setidaknya lima aspek. Yang pertama adalah waktu. Waktu yang dimaksud adalah periodisasi atau angkatan yang menggolongkan karya sastra tersebut. Baik angkatan 1920-an, 1933, 1942, 1945, 1953, 1966 dan kedua adalah wilayah. Karya sastra tersebut harus berada di territorial Indonesia yaitu dari sabang sampai merauke. Yang ketiga dalah bahasa. Sastra Indonesia harus menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Yang keempat adalah Indonesia yang ideal harus dikarang oleh orang berkebangsaan Indonesia. yang kelima adalah isi karya. Isi karya sastra Indonesia yang ideal adalah bercerita tentang bangsa maupun kehidupan orang Indonesia itu pengarang karya tersebut adalah orang Indonesia, namun karyanya tidak menggunakan bahasa Indonesia tidak dapat disebut sastra Indonesia yang ideal. Jika karya itu sudah diterjemahkan menggunakan bahasa Indonesia disebut sastra berjalannya waktu, sejarah sastra Indonesia mengikuti perkembangan jamannya. Begitu pula pada karya sastra angkatan periode ini, lebih bersifat mengkritik pemerintahan maupun politik. Pada angkatan ini, sastrawan sudah mulai mengkritisi keadaan pemerintah maupun politik yang ada pada jaman itu. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dibahas lebih detail mengenai “Sastra Angkatan 66.”SEJARAH TERBENTUKNYA PERIODE SASTRA ANGKATAN 1966Angkatan ini ditandai dengan terbitnya majalah sastra Horison. Semangat avant-grade sangat menonjol pada angkatan ini. Banyak karya sastra pada angkatan ini yang sangat beragam dalam aliran sastra, munculnya karya sastra beraliran surealistik, arus kesadaran, arketip, absurd, dan Pustaka Jaya sangat banyak membantu dalam menerbitkan karya sastra pada masa ini. Sastrawan pada akhir angkatan yang lalu termasuk juga dalam kelompok ini diantaranya Motinggo Busye, Purnawan Tjondronegoro, Djamil Suherman, Bur Rasuanto, Goenawan Moehammad, Sapardi Djoko Damono, dan Satyagraha Hoerip Soeprobo dan termasuk paus sastra Indonesia, angkatan ’66 dicetuskan Hans Bague Jassin melalui bukunya yang berjudul Angkatan ’66. Angkatan ini lahir bersamaan dengan kondisi politik Indonesia yamg tengah mengalami kekacauan akibat merajalelanya paham komunis. Pada saat itu, PKI hendak menguasai Negara dan berusaha menggantikan ideologi Pancasila dengan ideologi karena itu, karya sastra yang lahir pada periode ini lebih banyak yang berwarna protes terhadap keadaan sosial dan politik pada masa masanya karya sastranya berupa novel, cerpen dan drama kurang mendapat perhatian, bahkan sering menimbulkan kesalahpahaman. Ia lahir mendahului jamannya. Baca Juga Cuplikan Sejarah Periodisasi Sastra Balai Pustaka Beserta Tokohnya Latar Belakang dan Sejarah Lahirnya Periodisasi Sastra Angkatan 45 Sejarah yang Melatarbelakangi Lahirnya Periode Sastra Pujangga Baru Beberapa sastrawan pada angkatan ini antara lain Umar Kayam, Ikranegara, Leon Agusta, Arif C. Noer, Akhudiat, Darmanto Jatman, Arief Budiman, Goenawan mohamad, Budi Darma, Hamsad Rangkuti, Putu Wijaya, Wisran Hadi, Wing Karjo, Taufik Ismail dan masih banyak politis lahirnya angkatan ini dilatarbelakangi oleh pergolakan politik dalam masyarakat dan penyelewengan-penyelewengan pemimpin-pemimpin Negara yang tidak memiliki moral, agama, dan rasa keadilan demi kepentingan pribadi dan tersebut antara lain pelanggaran terhadap Pancasila sebagai dasar Negara dan UUD 45 dengan memasukkan komunis sebagai sebuah nilai keindonesiaan yang tentu saja melanggar sila itu, pengangkatan Soekarno sebagai presiden seumur hidup tidak sesuai dengan prinsip demokrasi. Hal-hal tersebut membuat Negara menjadi semakin terpuruk dan rakyat dengan semangat kebangkitan angkatan 66 masyarakat menolak kebudayaan didominasi oleh politik. Perlawanan ini dilakukan oleh semua kalangan yang diawali oleh gerakan mahasiswa, selain selain pemberontakan-pemberontakan di daerah-daerah seluruh politik tersebut berimplikasi pada paham sastra yang berkembang pada masa tersebut. Terdapat dua kelompok, yaitu golongan penulis yang terkumpul dalam lekra dan para seniman penandatangan manifest itu, terdapat sastrawan yang tidak terkumpul pada keduanya yang tetap pada posisi netral. Lekra, mulanya bukan lembaga budaya PKI. Menjadi salah satu media dalam metode penyerangan terhadap berbagai bidang PKI yang agresif. Serangan dilakukan pada orang-orang yang tidak bersedia mendukung PKI. Salah satu tokoh yang diserang adalah pada awal Agustus 1963 di Bogor dan di Jakarta diadakan pertemuan-pertemuan antara tokoh budaya, pengarang dan seniman lainnya untuk membahas manifest kebudayaan adalah perlawanan-perlawanan yang dilakukan para budayawan dan sastrawan akibat tekanan yang bertambah besar dari pihak komunis dan pemimpin bangsa yang mau menyelewengkan rumusan itu dibawa kedalam siding lengkap pada tanggan 24 Agustus 1963. Selaku pimpinan sidang Gunawan Muhamad dan sekretarisnya Bokor Hutasuhut siding memutuskan naskah manifest kebudayaan yang bunyinya sebagai berikut.“Kami para seniman dan cendikiawan Indonesia dengan ini mengumumkan sebuah Manifes Kebudayaan yang menyatakan pendirian, cita-cita dan politik Kabudayaan Nasional kami.”“Bagi kami kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia. Kami tidak mengutamakan salah satu sector kebudayaan di atas sector kebudayaan yang lain. stiap sector berjuang bersama-sama untuk kebudayaan itu sesuai dengan kodratnya.”“Dalam melaksanakan kebudayaan nasional kami berusaha menciptakan dengan kesungguhan yang sejujur-jujurnya sebagai perjuangan untuk mempertahankan dan mengembangkan martabat dari kami sebagai bangsa Indonesia di tengah-tengah masyarakat bangsa-bangsa. Pancasila dalah falsafah kebudayaan kami.”kManifest kebudayaan ini pertama kali dipublikasikan dalam surat kabar Berita Republik Jakarta. Manifest tersebut ditandatangani pada 17 Agustus 1963 oleh beberapa pengarang antar lain Zain, Trisno, Sumardjo, Goenawan Mohamad, Bokor Hutasuhut, Wiratmo Soekito, dan Soe hok djin. Pasca diumumkan, manifest tersebut didukung oleh seniman-seniman di daerah. Namun, Lekra tidak tinggal menggunakan pengaruh dalam pemerintahan dan semua media yang telah dikuasai oleh mereka, mereka menyerang manifest kebudayaan dan orang-orang yang menyatakan bahwa manifest kebudayaan dilarang. Penandatanganan manifest tersebut diusir dari tiap kegiatan, ditutup segala kemungkinan untuk mengumumkan karya-karyanya, bahkan yang menjadi pegawai pemerintah dipecat dari yang menjadi tempat menulis dituntut untuk ditutup. Salah satunya majalah Sastra yang didirikan Angkatan 66 dalam sastra Indonesia mencakup kurun waktu tahun 1963-1970-an. Disamping itu, karya tahun 1966 ini tidak hanya bercirikan protes sosial, politik, ekonomi melainkan juga bercirikan agama. Hal ini dimaksud pengarang untuk membedakan dirinya dari pengarang lekra yang cenderung ateis. Hal ini dapat dilihat dengan jelas pada karya Taufik Ismail, yang semula menulis puisi demontrasi, kemudian menulis puisi-puisi yang bersumber dari Tarikh dan PenulisMudah-mudahan sobat tweeters dapat mengerti serta memahami proses bagaimana periode sastra angkatan 1966 terbentuk, bila ada hal yang ingin ditanyakan silahkan tulis dikomentar dan mari kita diskusikan bersama. Padaakhirnya, semua diktator harus diganti. Ada alasannya kenapa mahasiswa-mahasiswa angkatan 66 pada turun ke jalan menuntut Soekarno turun, terlepas dari ada dukungan jendral-jendral ataupun CIA di belakangnya. Faktanya, banyak hal dari rezim Soekarno yang diberesin Soeharto. Walaupun dengan tangan besi. BETUL yang pernah ditulis Parakitri T. Simbolon –penulis dengan visi kebudayaan yang mendalam– di tahun 2006 “Apa yang pernah disebut Angkatan 66 praktis sudah dilupakan orang”. Meskipun, “Angkatan 66 pernah membahana di persada Tanah Air Indonesia”. Pejuang kemerdekaan Indonesia, Bung Tomo, April 1966 dengan rendah hati mengakui bahwa Angkatan 66 lebih hebat daripada Angkatan 45. Berbeda dengan Angkatan 45 yang berjuang dengan bedil, Angkatan 66 berjuang tidak dengan senapan, tapi dengan “keberanian, kecerdasan, kesadaran politik, motif yang murni”. Dengan semua itu Angkatan 66 “memberi arah baru pada sejarah nasional Indonesia”. Penamaan Angkatan 66 itu sendiri, diusulkan oleh Jenderal Abdul Harris Nasution kepada KAMI Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia yang baru saja dibubarkan oleh KOGAM Komandan Ganyang Malaysia 26 Februari 1966. Kendati sejarah tentang peranan Angkatan 66, telah menjadi bagian dari arsip yang berdebu sejalan berlalunya waktu, tetap saja harus dicatat bahwa generasi muda yang bergerak waktu itu adalah kelompok paling konseptual selain tokoh-tokoh kemerdekaan tahun 1945 sepanjang sejarah republik ini. SOEKARNO DAN JENDERAL SOEHARTO. “Mahasiswa menjadi kekuatan utama yang menuntut Presiden Soekarno di-Mahmilub-kan dan diberhentikan dari kekuasaannya. Ketika Jenderal Soeharto menampilkan’ sikap mikul dhuwur mendhem jero’ terhadap Soekarno, mahasiswa mengecamnya. Setelah Soekarno diturunkan Maret 1967, pada masa-masa berikutnya banyak tokoh 1966 terlibat dalam gerakan konseptual untuk pembaharuan kehidupan politik dan kehidupan bernegara”. Karikatur Harjadi S, 1967 Generasi pergerakan berikutnya, memang juga berhasil menggebrak, khususnya sebagai ujung tombak di tahun 1998, sehingga terjadi perubahan kekuasaan, namun dengan cepat mereka dikandangkan oleh kekuatan politik yang ada. Salah satu penyebabnya, karena ketiadaan konsep tentang arah perubahan negara berikutnya. Sepenuhnya kendali politik dan benefit dari kejatuhan Soeharto akhirnya dinikmati oleh partai-partai politik –campuran dari partai masa Orde Baru yang memodifikasi diri, dan partai-partai baru dengan semangat dan corak ala kepartaian masa konstituante. Dan di tangan penikmat benefit kekuasaan pasca tumbangnya Soeharto –partai-partai politik maupun kelompok-kelompok tentara sisa Orde Baru– seperti yang bisa disaksikan sebagai fakta saat ini, Indonesia makin tergiring ke tepi jurang kegagalan negara. Januari 1966, mahasiswa sebagai generasi muda, menurut sejarawan Anhar Gonggong, kembali tercatat dalam sejarah modern Indonesia, sebagaimana juga yang telah terjadi pada mahasiswa pendahulu-pendahulunya pada pergerakan nasional 1908-1945. Mahasiswa dalam kurun waktu itu disebut sebagai Angkatan 08 dan 28, yang dikaitkan dengan tahun 1908 dan 1928. Pada tahun 1966 disebutkan sebagai Angkatan 66. “Sebutan Angkatan 66 itu memiliki –setidaknya sampai tahun 1970-an– makna yang membanggakan, kalau tidak dapat disebut memiliki kekuatan kharismatis, karena dianggap kumpulan hero’ yang meruntuhkan pemerintahan yang otoriter”. Di awal-awal gerakannya, aktivis 1966 mengutamakan gerakan kritis terhadap kekuasaan Soekarno. Mahasiswa menjadi kekuatan utama yang menuntut Presiden Soekarno di-Mahmilub-kan dan diberhentikan dari kekuasaannya. Ketika Jenderal Soeharto menampilkan’ sikap mikul dhuwur mendhem jero’ terhadap Soekarno, mahasiswa mengecamnya. Setelah Soekarno diturunkan Maret 1967, pada masa-masa berikutnya banyak tokoh 1966 terlibat dalam gerakan konseptual untuk pembaharuan kehidupan politik dan kehidupan bernegara. Pada tahun 1968-1969 misalnya, tokoh-tokoh 1966 dari Bandung bahkan terlibat dengan pencetusan gagasan perombakan struktur politik. Mereka menganggap, rezim baru di bawah Soeharto belum menuntaskan pembaharuan politik, karena sekedar mempertahankan struktur politik lama minus PKI. Sementara itu, sejumlah tokoh ex gerakan 1966 yang umumnya dari Jakarta, memilih bekerja bersama Soeharto dalam kekuasaan negara, dan ikut dalam perencanaan sejumlah konsep pembangunan, antara lain dalam setiap penyusunan GBHN Garis-garis Besar Haluan Negara. Memang setelah lahirnya Super Semar Surat Perintah 11 Maret 1966, ada semacam pembelahan di tubuh Angkatan 66. Di satu sisi, mereka yang menempatkan diri sebagai pendukung utama Soeharto yang menganggap perjuangan’ sudah selesai saat kekuasaan sepenuhnya telah berada di tangan Jenderal Soeharto. Dan pada sisi yang lain adalah mereka yang menganggap bahwa peralihan kekuasaan tanggal 11 Maret dan pembubaran PKI 12 Maret 1966, barulah awal dari suatu pembaharuan kehidupan politik. Pada tanggal 10 Januari 1966, demonstrasi mahasiswa meletus di Jakarta, sebagai reaksi terhadap kenaikan harga-harga yang dipicu oleh kebijakan pemerintah menaikkan harga bensin. Per 3 Januari 1966 itu harga bensin dinaikkan menjadi Rp. 1000 per liter, padahal sebelumnya pemerintah telah menaikkan harga bensin menjadi Rp. 250 per liter pada 26 November 1965. Tetapi inflasi pada masa itu memang luar biasa. Ketika harga bensin naik, harga beras yang Rp. 1000 per liter terpicu menjadi per liter. Dalam demonstrasi 10 Januari 1966 itu mahasiswa melontarkan Tritura Tri Tuntutan Rakyat, yang meliputi Bubarkan PKI, Ritul Kabinet Dwikora dan Turunkan Harga. Tiga tuntutan itu, memiliki latar belakang keinginan pembaharuan politik, pembersihan pemerintahan dan solusi keadilan sosial-ekonomi bagi rakyat. Sejauh ini, hingga 47 tahun setelah dicetuskan, pokok persoalan yang dihadapi Indonesia, ternyata tak bergeser jauh. Kehidupan politik dengan sistem kepartaian yang korup, konspiratif dan berorientasi kepada pengejaran kekuasaan semata; sistem pemerintahan dan pengelolaan kekuasaan yang tidak efisien, tidak efektif dan korup penuh persekongkolan; beban berat dan ketidakadilan ekonomi bagi rakyat; merupakan pokok-pokok persoalan yang belum kunjung berhasil ditangani oleh rezim-rezim kekuasaan yang ganti berganti. Tugas generasi baru untuk menanganinya. TERLEPAS dari pernah terjadinya berbagai pembelahan di tubuh kalangan pergerakan tahun 1966, mesti diakui bahwa pergerakan tersebut telah menjadi kancah tampilnya tokoh-tokoh muda yang handal secara kualitatif. Sikap altruisme juga masih menjadi faktor kuat dalam pergerakan tersebut. Ini melebihi pergerakan generasi muda berikutnya. Soeharto sendiri, semasa berkuasa berkali-kali menggunakan kemampuan tokoh-tokoh muda eks gerakan 1966 itu, baik di lembaga legislatif maupun di lembaga eksekutif. Beberapa tokoh 1966 menjadi menteri yang berhasil, meski ada juga yang ternyata menjadi bagaikan kacang yang lupa akan kulitnya’ karena mabuk oleh bius kekuasaan. Pada umumnya, di masa Soeharto, nyaris tak ada menteri atau pejabat di eselon lebih bawah eks pergerakan 1966 yang terlibat korupsi serius’. Meski kecenderungan tersebut bukannya tak dimiliki oleh beberapa tokoh ex 1966, khususnya yang berasal dari organisasi ekstra tertentu. Agaknya, memang susah mencuri’ dalam rezim Soeharto, tanpa lisensi khusus sebagai pengumpul dana. Tetapi, sungguh menarik, beberapa tokoh dengan embel-embel label 1966 yang diikutsertakan dalam kabinet para Presiden pasca Soeharto, justru disebut-sebut dan bahkan ada di antaranya yang dihukum karena perkara korupsi. Namun bisa dicatat bahwa mereka yang disebut terakhir ini, tercatat hanya sebagai tokoh berkategori pinggiran dalam perjuangan 1966. Sewaktu rezim Soeharto masih berusia kurang dari satu dasawarsa, seringkali orang memproyeksikan kalangan tentara ABRI dan kalangan pergerakan 1966 sebagai sumber persediaan tokoh pemimpin nasional berikutnya. Tetapi ketika proses pemilihan presiden setiap 5 tahun, hanya menghasilkan Soeharto dan Soeharto lagi sebagai Presiden, proyeksi semacam itu memudar dengan sendirinya. Terganti permainan wayang, dengan memunculkan sejumlah tokoh-tokoh militer sebagai calon pemimpin nasional berikutnya di arena rumor politik. Tokoh-tokoh itu, adalah para jenderal yang ada di lingkaran kekuasaan Soeharto. Nama tokoh 1966 tak pernah ada dalam lakon perwayangan ini, sampai saatnya uacapan Marzuki Darusman –bahwa karir tertinggi seorang anggota DPR sebagai politisi, adalah posisi Presiden– tampil mengusik. Jadi, sebegitu jauh, tokoh eks pergerakan 1966, tak pernah tampil dalam gelanggang perebutan kursi Presiden. Barulah pada pasca Soeharto, beberapa nama tokoh 1966 sempat tampil dalam deretan calon Presiden di tingkat partai, namun sejauh ini tak terwujud. Hanya Jusuf Kalla, tokoh 1966 dari daerah, yang pernah berhasil coming from behind’ menjadi Wakil Presiden mendampingi Susilo Bambang Yudhoyono. Hingga kini, Jusuf yang bukan tokoh utama pergerakan 1966 ini, masih melanjutkan usahanya untuk menjadi Presiden. Tapi agaknya, 9 dari 10 kemungkinan, generasi pergerakan 1966 adalah generasi yang terloncati dalam konteks kepemimpinan nasional, karena partner’ perjuangannya di tahun 1966 telah terlalu lama memborong’ kekuasaan negara. Meskipun, dalam jajaran Angkatan 1966 tersebut, terdapat sejumlah tokoh dengan kualitas Kepresidenan yang melebihi beberapa tokoh yang pernah ada dalam posisi tersebut. Pada umumnya, tokoh-tokoh berlatar belakang 1966 yang mungkin saja bisa disebutkan di sini –seperti Jenderal Purnawirawan Endriartonio Sutarto ex KAPI Bandung 1966, atau Sarwono Kusumaatmadja dan Marzuki Darusman sekedar sebagai contoh– tidak pernah berpikir memperkuat otot politik dan memenuhi pundi-pundi, yang merupakan syarat tak tertulis yang justru penting’. Tapi dua nama yang disebutkan terakhir, memang tak pernah mencalonkan diri. Syarat tak tertulis ini justru dimiliki misalnya Abrurizal Bakrie –seorang tokoh junior yang sejenak mengikuti perjuangan 1966 di Bandung sebelum disekolahkan ayahanda ke luar negeri– atau tokoh-tokoh pasca 1966 seperti Prabowo Subianto dan Wiranto. Entah dengan Mahfud MD. Mohon tulisan ini diterima sebagai suatu catatan ringan dari arsip yang telah berdebu dengan berjalannya waktu. Bukan kampanye, bukan pula provokasi. KeberhasilanPak Harto dalam menumpas G30S/PKI pada tahun 1965, tentu saja berkat dukungan dari MEI, rakyat dan mahasiswa yang secara serentak bersatu padu menjadi sebuah kekuatan besar lahirnya Orde Baru. Gerakan mahasiswa yang kemudian dikenal dengan sebutan Angkatan 66, tentu saja tak bisa pula dilepaskan dari kedekatan Pak Harto
di seluruh dunia kerap menjadi kalangan masyarakat sipil yang melakukan partisipasi politik, selain buruh. Mereka biasanya adalah kelompok terpelajar yang melek politik, berserikat, berdiskusi atau berkonsolidasi, dan membuat kajian terkait situasi yang ada maupun untuk pergerakannya. Semenjak Indonesia merdeka, mahasiswa memiliki kisah panjang pergerakannya. Keberadaan di masa Demokrasi Terpimpin, sektor pendidikan di Indonesia berkembang dan memunculkan banyak kalangan mahasiswa, dan mulai menguatkan afiliasinya dengan partai dan basis massa. Afiliasi ini sudah terbentuk sejak kemerdekaan, saat Himpunan Mahasiswa Indonesia HMI berafiliasi dengan Masyumi, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia GMNI dengan PNI, Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia CGMI dengan PKI, dan Gerakan Mahasiswa Sosialis Gemsos dengan PSI. Arif Novianto dalam Pergulatan Gerakan Mahasiswa dan Kritik terhadap Gerakan Moral menulis, tahun 1950 hingga 1960-an adalah masa ketenangan politik relatif di kampus-kampus, dan kebanyakan mahasiswa bersifat hedonistik, elitis, dan apolitis. Banyak mahasiswa saat itu berasal dari kalangan atas dan membuat ideologi borjuis, sehingga minim pergerakan. Angkatan 1965-1966 "Tetapi semua berubah pada 1965-1966," tulis Novianto. Uniknya, gerakan mahasiswa Indonesia saat itu berbeda dengan umumnya di Asia. Kampus-kampus di wilayah Asia masa itu tumbuh dan berkembang gerakan yang berbasis politik kiri dan komunis. Sedangkan di Indonesia justru gerakan yang memberangus kalangan kiri, oleh sayap kanan yang anti-komunis dan anti-sukarnois. Bahkan, salah satu aktivis mahasiswa, Soe Hok Gie dan Arif Budiman lantang mengkritik pemerintahan Sukarno. Selain itu, terbukti pada Oktober 1965 ada pertemuan di rumah Menteri Pendidikan Tinggi Brigjen Syarief Thayep, dan terbentuklah Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia KAMI. Public Domain Soe Hok Gie, tokoh pergerakan mahasiswa 1966 berfoto bersama teman-temannya. Selanjutnya, mahasiswa bersama militer melakukan pergerakan politik dengan Tiga Tuntutan Rakyat Tritura. Bahkan, demi mendulang dukungan, mahasiswa pada saat itu menerbitkan koran propaganda, seperti Angkatan 66, Angkatan Baru, dan Harian Kami. Novianto menulis, gerakan mahasiswa angkatan 66 dan militer itu adalah pergerakan kontra-revolusi. Karena pergerakan mereka melakukan penindasan massal terhadap jutaan orang dari organisasi kiri, dan memberangus gerak roda revolusi Indonesia. Akhirnya, Soeharto pun naik menjadi presiden. Baca Juga Sukarno Bukan Tanpa Cela, Berkali-Kali Dia Dikritik oleh Soe Hok Gie Baca Juga Aktivisme hingga Petualangan Antara Gie, Pendakian, dan Semeru Baca Juga Studi Baru Mahasiswa Menghindari Interaksi Sosial Saat Sedang Stres Baca Juga Terbuangnya Generasi Intelektual Indonesia Setelah Peristiwa 1965 Dari Malari 1974 hingga Reformasi 1998 Pasca kenaikan Soeharto, dan naiknya kekuatan militer, menumbuhkan gerakan kontra-revolusi karena pengekangan terjadi pada depolitisasi rakyat. Terlebih pada 1972, Ali Moertopo menggagas penyederhanaan partai politik, dwifungsi ABRI, dan pembatasan sosial-politik. Kebijakan ini membelenggu gerakan mahasiswa, sehingga yang ada hanya pergerakan moral—tidak selantang gerakan progresif. Beberapa gerakan itu seperti Peristiwa Malari Malapetaka 15 Januari 1974 yang dipelopori Dewan Mahasiswa UI. Dalam Malari, protes mahasiswa meluas mempertanyakan kedekatan pemerintah dengan pengusaha etnis Tionghoa saja dan menolak investasi Jepang. Tetapi pergerakan itu diredam pada 19 Januari 1974, dengan tertangkapnya 18 aktivis. Kompas Persitiwa Malari Malapetaka 15 Januari 1974. Arief Budiman sebagai salah satu pemimpin pergerakan menulis—dikutip dari Novianto, bahwa sesudah 1974 masyarakat takut menyuarakan kritik. Hal itu makin diperkuat dengan depolitisasi gerakan mahasiswa oleh Soeharto lewat SK Mendikbud tahun 1978 tentang normalisasi kampus. Lalu ada pula SK tahun 1979 yang mengatur bentuk dan susunan organisasi kemahasiswaan yang bisa dikontrol ketat oleh pemerintah. Gerakan mahasiswa progresif muncul di era akhir 1980-an sampai 1998, tulis Novianto. Mahasiswa belajar dari kesalahan dan kekalahan pasca 1965 yang terjerembab dalam gerakan moral yang terpisah dari kekuatan rakyat dan tidak memiliki basis yang kuat maupun luas. Berdasarkan data Yayasan Insan Politika, jumlah protes mahasiswa melonjak sejak 1992. 71 aksi protes pada 1993, dan 111 pada 1994. Data itu belum termasuk pergerakan yang digabungkan dengan aksi buruh dan petani yang juga turut berkembang. Saat terjadi konflik PDI Partai Demokrasi Indonesia, 37 pimpinan anggota PRD Partai Rakyat Demokratik yang mendukung Megawati ditangkap, termasuk Budiman Sudjatmiko. Akibatnya, PRD dilarang, dan aktivisnya bergerak lewat bawah tanah dengan memengaruhi gerakan-gerakan dan organisasi mahasiswa. Meski demikian, gerakan mahasiswa yang sudah membesar belum juga bergerak bersama rakyat. Momentum pada krisis moneter 1997 membuat mereka muncul secara spontan, dan mulai memobilasasi massa dengan terus meningkat bersama rakyat. Dwi Oblo Pada 20 Mei 1998, Sultan Hamengku Buwono X dan KGPAA Paku Alam VIII mengajak masyarakat Yogyakarta untuk tetap tidak terpancing kerusuhan. Singkatnya, pada 21 Mei 1998 mahasiswa berhasil memaksa Soeharto mengundurkan diri dari jabatan presiden. Mereka juga menduduki kantor DPR di Senayan dengan sesak beragam jas almamater mereka. Pergerakan sebenarnya menolak Habibie yang menggantikan Soeharto, karena merupakan bagian kroni-korni Orde Baru. Tetapi mahasiswa yang konservatif dan moderat tetap mendukung transisi ini, yang masih menggunakan metode lama gerakan moral. Era Reformasi Pasca Reformasi, aktivisme mahasiswa masih berlanjut. Pada 2007 misalnya, mahasiswa dari 37 peguruan tinggi mendirikan BEM SI Badan Eksekutif Mahasiswa - Seluruh Indonesia. Pergerakan mahasiswa muncul pada periode pertama Soesilo Bambang Yudhoyono dengan Tujuh Gugatan Rakyat Tugu Rakyat, dan aksinya diselenggarakan pada Mei 2008 di Istana Negara. Tuntutan itu meminta pemerintah menasionalisasi aset startegis bangsa, mewujudkan pendidikan yang bermutu dan merata, menuntaskan kasus BLBI dan korupsi Soeharto bersama kroni-korninya, hingga isu lingkungan akibat lumpur Lapindo. Mereka melanjutkannya pada Sidang Rakyat tahun 2014 ketika Presiden Joko Widodo bersama Jusuf Kalla baru memimpin. Mereka membawa tuntutan atas masalah yang terjadi di Indonesia, dengan hendak menghentikan kekuasaannya. Kendati demikian, Novianto menulis gerakan BEM SI terlihat radikal dan militan. Tetapi, gerakan yang disebut Tugu Rakyat 2008, dan Sidang Rakyat 2014 memiliki kelemahan, yakni tidak melibatkan gerakan rakyat. "Metode gerakan dari BEM SI cenderung bersifat regresif, mereka gagal melihat siapa kawan yang harus dirangkul dan siapa musuh yang harus dilawan," tulis Novianto. "Mereka masih menganggap bahwa wacana pembebasan sosial bagi rakyat tertindas bisa dilakukan tanpa melibatkan gerakan rakyat tertindas secara sadar." Keenan Anoman Pasha Aksi mahasiswa jas almamater biru muda bersama buruh seragam merah pada penolakan Omnibus Law pada 8 Oktober 2020. Pada Sidang Rakyat, lagi-lagi Novianto mengkritik tuntutan mahasiswa yang meminta Joko Widodo dan Jusuf Kalla mundur. Pandangan revolusioner itu terpampang meletakkan analisis oligarki dan kapitalisme. Mahasiswa hendak menurunkan Joko Widodo tetapi gagal menentukan siapa penggantinya, dan mencegah oligarki yang digadangkan tetap berkuasa. Aksi mahasiswa juga terjadi pada 2019 dalam Reformasi Dikorupsi. Protes ini berlangsung di kota-kota besar seluruh Indonesia, dengan menolak beberapa UU, meminta mengesahkan RUU PKS untuk menyelesaikan kasus kekerasan seksual, hingga menyelesaikan kasus pelanggaran HAM. Selanjutnya pun ada aksi Tolak Omnibus Law UU Cipta Kerja pada 2020 yang dinilai berdampak pada segala lini, seperti isu lingkungan, hingga mengabaikan kesejahteraan buruh. Abdil Mughis, dosen sosiologi Universitas Negeri Jakarta mengkritik gerakan mahasiswa pasca Reformasi khususnya pada 2019. Ia menilai gerakan mahasiswa yang dilakukan hanyalah aktivisme borjuis. Lantaran, pengorganisasian mahasiswa belum ada yang berbasis kelas, dan hanya membentuk LSM yang melunakkan tuntutan perubahan. Aksi Reformasi Dikorupsi dianggap cair dan tidak memiliki pemimpin, atau hanya sekadar menjadi kerumunan. Mughis dalam Project Multatuli, menganggap gerakan mahasiswa kerap menyalahkan penguasa dan negara, tetapi kontradiktif dengan tuntutan yang berharap adanya budi baik penguasa. PROMOTED CONTENT Video Pilihan
Sehinggapelaksanaannya kepartaian tidak lagi didasarkan pada ideologi tetapi atas persamaan program. Penggabungan tersebut menghasilkan tiga kekuatan sosial-politik, yaitu : a. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) merupakan fusi dari NU, Parmusi, PSII, dan Partai Islam Perti yang dilakukan pada tanggal 5 Januari 1973 (kelompok partai politik Islam)
Dari Wiktionary bahasa Indonesia, kamus bebas Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian bahasa Indonesia[sunting] Nomina angkatan 66 Pol kelompok pemuda Indonesia yang bekerja sama dengan ABRI menumbangkan Orde Lama dan menegakkan Orde Baru Sinonim Terjemahan[?] Lihat pula Semua halaman dengan kata "angkatan 66" Semua halaman dengan judul mengandung kata "angkatan 66" Lema yang terhubung ke "angkatan 66" Pranala luar Definisi KBBI daring KBBI V, SABDA KBBI III, Kamus BI, Tesaurus Tesaurus Tematis, SABDA Terjemahan Google Translate, Bing Translator Penggunaan di korpora Corpora Uni-Leipzig Penggunaan di Wikipedia dan Wikisource Wikipedia, Wikisource Ilustrasi Google Images, Bing Images Jika komentar Anda belum keluar, Anda dapat menghapus tembolok halaman pembicaraan ini. Belum ada komentar. Anda dapat menjadi yang pertama lbs Bahasa Indonesia a ° ‧ b ° ‧ c ° ‧ d ° ‧ e ° ‧ f ° ‧ g ° ‧ h ° ‧ i ° ‧ j ° ‧ k ° ‧ l ° ‧ m ° ‧ n ° ‧ o ° ‧ p ° ‧ q ° ‧ r ° ‧ s ° ‧ t ° ‧ u ° ‧ v ° ‧ w ° ‧ x ° ‧ y ° ‧ z ° Kategori Kata Kata dasar Kata berimbuhan Kata ulang Turunan kata Gabungan kata majemuk Frasa Turunan frasa Morfem Imbuhan Prakategorial Morfem terikat Morfem unik Peribahasa/idiom Kiasan/ungkapan Kependekan singkatan dan akronim Bahasa daerah Bahasa asing/serapan Kata dengan unsur serapanKelas kata Adjektiva Adverbia Artikula Interjeksi Interogativa Konjungsi Nomina Numeralia Partikel Preposisi Pronomina VerbaRagam bahasa Arkais tidak lazim / Ejaan lama Cakapan tidak baku / nonformal / variasi Klasik naskah kuno Kasar Hormat Feminin MaskulinBidang ilmu /Leksikon Administrasi dan Kepegawaian Agama Budha Agama Hindu Agama Islam Agama Katolik Agama Kristen Anatomi Antropologi Arkeologi Arsitektur Astrologi Astronomi Bakteriologi Biologi Botani Demografi Ekonomi dan Keuangan Elektronika Entomologi Farmasi Filologi Filsafat Fisika Geografi dan Geologi Grafika Hidrologi Hidrometeorologi Hukum Ilmu Komunikasi Kedirgantaraan Kedokteran dan Fisiologi Kehutanan Kemiliteran Kesenian Kimia Komputer Linguistik Manajemen Matematika Mekanika Metalurgi Meteorologi Mikologi Mineralogi Musik Olahraga Pelayaran Pendidikan Penerbangan Perdagangan idNegasiIndeks Alfabetis Frasa Frekuensi Kiasan Peribahasa Serapan Gambar 206 kata benda dasar Swadesh 207 kata dasar Kata perhentian stopwords RimaImbuhan Nomina -an ke-/ke-an/keber-an/kepeng-an/kese-an/keter-an/ketidak-an pe-/pe-an per-/per-an se-/se-an Adjektiva ter- se- ke- Verba ber-/ber-an/ber-kan me-/me-i/me-kan di-/di-i/di-kan ku-/ku-i/ku-kan kau-/kau-i/kau-kan memper-/memper-i/memper-kan diper-/diper-i/diper-kan kuper-/kuper-i/kuper-kan kauper-/kauper-i/kauper-kan -i -kan Akhiran -ku -mu -nya -kah -lah -tah Sisipan -er-, -el-, -em-, -in- KategoriBahasa Indonesia IndeksBahasa Indonesia ProyekWiki bahasa Indonesia Lampiran bahasa Indonesia Bahasa daerah sebagian atau seluruh definisi yang termuat pada halaman ini diambil dari Kamus Besar Bahasa Indonesia Kategori Frasa bahasa IndonesiaidNomina frasaFrasa mengandung kata angkatanFrasa mengandung kata 66idIstilah politik
Daripersatuan tersebut diharapkan terbentuk front tunggal yang dapat menarik dukungan massa atas dasar nasionalisme. Metode yang digunakan untuk mendapatkan pengaruh adalah melalui boycott terhadap dewan tuan tanah kolonial, mengikuti contoh India dengan gerakan non-cooperation, dan secara umum bergantung pada kekuatan dan ï»żJAKARTA - Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan meresmikan perpindahan atau relokasi Monumen 66 dari Kawasan Rasuna Said, Kuningan ke Taman Menteng. Relokasi Monumen 66 ini mendapat banyak apresiasi, karena menjaga dan menghargai perjuangan para mahasiswa generasi 66 dahulu, dalam perjalanan bangsa Indonesia. Anggota DPD RI Fahira Idris mengungkapkan, relokasi Monumen 66 ini dikarenakan di lokasi lama kawasan Setia Budi, akan tertutup halte busway dan terhalang stasiun jalur LRT. Monumen 66 tidak dapat dilepaskan dari perkembangan sebuah Kota Jakarta. Monumen ini bukan sekedar bangunan fisik, tetapi memiliki makna atas peristiwa-peristiwa besar yang terjadi di kota tersebut. Sebagai warga Jakarta, Fahira mengucapkan apresiasi dan menyampaikan terima kasih atas dukungan penuh dari Pemprov DKI Jakarta dalam pemindahan Monumen 66 dari kawasan Rasuna Said, Kuningan ke Taman Menteng ini. "Terima kasih tetap mengabadikan perjuangan generasi terdahulu. Semoga monumen ini menjadi inspirasi setiap generasi negeri ini,” ujar Fahira, Rabu 5/10/2022. Jakarta sebagai epicentrum peristiwa besar, selalu jadi perhelatan politik di negeri ini. Mulai dari Sumpah Pemuda, Proklamasi Kemerdekaan, gelombang besar Tritura yang dipelopori mahasiswa 1966, sampai reformasi 1998. Dari setiap peristiwa itu bertebaran monumen yang melambangkan perjuangan masa lalu salah satunya Monumen 66. Menurut Fahira, yang juga putri salah satu tokoh utama penggerak Tritura atau Angkatan 66 Fahmi Idris, Monumen 66 yang pertama kali diresmikan pada 1992. Monumen ini, dibangun untuk mengenang dan menularkan inspirasi kepada setiap generasi setelahnya ada di suatu masa pada 1966, sebuah gerakan yang dimotori anak muda saat itu. "Mereka bersatu memperjuangkan aspirasi rakyat dan demi menjaga kestabilan negara," kata Fahira. Selain memenuhi unsur sosial, Monumen 66 ini juga memiliki fungsi estetika karena menambah keindahan kota. Menurut Fahira, penempatan Monumen 66 di taman Menteng juga merupakan pilihan yang tepat. Karena taman adalah tempat masyarakat berkumpul, tempat keluarga bercengkrama, tempat warga berinteraksi, dalam kondisi rileks dan dalam suasana harmonis. "Dengan monumen ini, Kawasan Menteng akan tampak lebih hidup lagi," ucap Fahira. Namun, dari itu semua, ungkap dia, fungsi paling hakiki dari Monumen 66 ini adalah fungsi edukasi. Ini karena bisa menjadi wahana pendidikan yang efektif untuk mengenang, menjadi inspirasi bagi setiap generasi. BACA JUGA Update Berita-Berita Politik Perspektif Klik di Sini . 11 137 353 152 274 282 415 288

angkatan 66 tumbuh atas dukungan dari